Click here for Myspace Layouts

Mulailah membaca Artikel-Artikel ini dengan Bismillah

Sabtu, 24 Desember 2011

SYA`IR PENGGUGAH JIWA

Berkata seorang penyair:

مَا الْعِلْمُ إِلاَّ كِتَابُ اللهِ وَاْلأَثَرُ
وَمَا سِوَى ذَاكَ لاَ عَيْنٌ وَلاَ أَثَرُ
إِلاَّ هَوًى وَخُصُوْمَاتٍ مُلْفِقَةً
فَلاَ يَغُرَّنَّكَ مِنْ أَرْبَابِهَا هَدَرُ

Tidaklah dinilai ilmu kecuali apa yang ada dalam Kitabullah dan Atsar (Sunnah)
Sedangkan yang selainnya tidak ada wujudnya dan pengaruhnya
Kecuali hawa nafsu dan pertikaian yang diada-adakan kedustaan padanya
Maka jangan sekali-kali menipumu kebatilan pemiliknya
(Syadzaratudz Dzahab, 7/103 dinukil dari Waratsatul Anbiya, hal. 12)


ISI DUNIA

Alangkah indahnya ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu berikut ini:

إِنَّ ِللهِ عَـباَداً فُـطَـناً طَلَّـقُوا الدُّنْـيَا وَخَافُوا اْلفِتَنَا
نَظَرُوا فِيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا أَنَّـهَا لَيسَـتْ لِحَيِّ وَطَـنَا
جَعَـلُوْ هَا لُجَّةً وَاتَّخَذُوا صَالِحَ اْلأعْمَـالِ فِيْهَا سُفُنَا

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hamba-hamba yang cerdas
Yang tinggalkan dunia karena takut fitnahnya
Mereka cermati dunia, dan setelah tahu
Kiranya dunia bukan tempat kehidupan (sejati)
Mereka jadikan dia bak gelombang
dan siapkan amalan shalih sebagai perahu menyeberanginya



Selengkapnya...

Rabu, 21 Desember 2011

Hukum Seorang Wanita Menambahkan Nama Suaminya di Belakang Namanya

Fatwa Lajnah Da’imah:

Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ juz 20 halaman 379.

Pertanyaan :

Telah umum di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya: Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan berhati-hati dengannya?

Jawab :

Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]

Sungguh telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar dan yang menyerupai mereka dari kaum muslimin.

وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’

Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Wakil : Abdul Aziz Alu Syaikh

Anggota :

Abdulloh bin ghudayyan

Sholih al-Fauzan

Bakr Abu Zaid

فتاوى اللجنة الدائمةالسؤال الثالث من الفتوى رقم ( 18147 )
س3: قد شاع في بعض البلدان نسبة المرأة المسلمة بعد الزواج إلى اسم زوجها أو لقبه، فمثلا تزوجت زينب زيدا، فهل يجوز لها أن تكتب: (زينب زيد)، أم هي من الحضارة الغربية التي يجب اجتنابها والحذر منها؟
ج3: لا يجوز نسبة الإنسان إلى غير أبيه، قال تعالى: { ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ } (1) وقد جاء الوعيد الشديد على من انتسب إلى غير أبيه. وعلى هذا فلا يجوز نسبة المرأة إلى زوجها كما جرت العادة عند الكفار، ومن تشبه بهم من المسلمين
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … نائب الرئيس … الرئيس
بكر أبو زيد … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد العزيز آل الشيخ … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

***

Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan hafidzohulloh

Pertanyaan :

Apakah boleh seorang wanita setelah menikah melepaskan nama keluarganya dan mengambil nama suaminya sebagaimana orang barat?

Jawab :

Hal itu tidak diperbolehkan, bernasab kepada selain ayahnya tidak boleh, haram dalam islam.

Haram dalam islam seorang muslim bernasab kepada selain ayahnya baik laki-laki atau wanita. Dan baginya ancaman yang keras dan laknat bagi yang melakukannya yaitu yang bernasab kepada selain ayahnya hal itu tidak boleh selamanya.

Dari kaset Syarh Mandhumatul Adab Syaikh al-Fauzan Hafidhohulloh

السؤالهل يجوز للمرأة بعد الزواج ان تتنازل عن اسمها العائلي وتاخذ اسم زوجها كما هو الحال في الغرب؟الجواب

هذا لا يجوز الانتساب الى غير الاب لا يجوز حرام في الاسلام
حرام في الاسلام ان المسلم ينتسب الى غير ابيه سواءا كان رجلا ام امرأة وهذا عليه وعيد شديد وملعون من فعله الذي ينتسب الى غير مواليه او ينتسب الى غير ابيه هذا لا يجوز ابدا

من شريط شرح منظومة الآداب للشيخ الفوزان حفظه الله

***
Selengkapnya...

Ada saatnya..


Bismillah..

Hanzhalah Al-Asadi radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang terhitung dalam jajaran juru tulis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertutur:



Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

“Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya.

“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.

“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.

“Bila kita berada disisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) menyibukkan kita-kita, hingga kita banyak lupa/lalai,” kataku.

“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.

Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.

“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Wahai Rasulullah, bila kami berada disisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/lalai,” jawabku.

Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada disisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian diatas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat wal Isytighal bid Dunya).

Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan lafadz: “Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim no. 6901)

Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dirinya sebagai salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah membuatnya merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Bahkan ia merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasa khauf (takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya, dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala), berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat. Namun ketika keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan. Karena mereka tidaklah dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)



Ketika Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengeluhkan perasaan dan keadaan dirinya yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bila keadaannya sama dengan keadaannya ketika bersama beliau, merasa hatinya itu lunak dan takut kepada Allah. Terus keadaannya demikian di mana pun ia berada, niscaya para malaikat dengan terang-terangan akan menyalaminya di majelisnya, di atas tempat tidurnya dan di jalan-jalannya.

Namun yang namanya manusia tidaklah bisa demikian. Ada waktunya ia bisa menghadirkan hatinya untuk mengingat akhirat, dan ada saatnya ia lemah dari ingatan akan akhirat. Ketika waktunya ingat akan akhirat, ia bisa menunaikan hak-hak Rabbnya dan mengatur perkara agamanya. Saat waktunya lemah, ia mengurusi bagian dari kehidupan dunianya ini. Dan tidaklah seseorang dianggap munafik bila demikian keadaannya, karena masing-masingnya merupakan rahmah atas para hamba. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqa`iq wal Wara’, bab ke 59, Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/560)



Al-Imam As-Sindi rahimahullahu menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ) : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan mereka bahwa biasanya hati itu tidak selamanya dapat dihadirkan untuk selalu ingat akhirat. Namun hal itu tidaklah memudharatkan bagi keberadaan iman di dalam hati, karena kelalaian/saat hati itu lupa tidaklah melazimkan (mengharuskan) hilangnya keimanan.” (Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/559-560)

Demikianlah ajaran yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, kepada para suami dan tentunya juga untuk para istri. Kesibukan dalam rumah tangga, bersenda gurau dengan suami dan bermain-main dengan anak-anak hingga kadang membuat lupa dan lalai, bukanlah suatu dosa yang dapat menghilangkan keimanan dalam hati.



Ada saatnya memang manusia itu lupa dan lalai karena memang demikian tabiat mereka yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Yang dicela hanyalah bila ia terus tenggelam dalam kelalaian, ridha terlena dengan keadaan yang demikian, dan memang enggan untuk bangkit memperbaiki diri. Pikirannya hanya dunia dan dunia, tanpa mengingat akhirat. Namun bila terkadang lupa kemudian ingat, ia bersemangat kembali. Demikianlah sifat manusia, manusia bukanlah malaikat yang mereka memang diciptakan semata untuk taat dan selalu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, selalu mengerjakan dengan sempurna apa yang diperintahkan, tanpa lalai sedikitpun.



وَمَنْ عِنْدَهُ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَ يَسْتَحْسِرُوْنَ. يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَ يَفْتُرُوْنَ

“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak pula mereka merasa letih. Mereka selalu bertasbih kepada Allah siang dan malam tiada hentinya-hentinya.” (Al-Anbiya`: 19-20)



Para malaikat itu tidak pernah lelah, tidak pernah bosan dan jenuh karena kuatnya raghbah (harapan) mereka (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), sempurnanya mahabbah (cinta) mereka, dan kuatnya tubuh mereka. Mereka tenggelam dalam ibadah dan bertasbih di seluruh waktu mereka. Sehingga tidak ada waktu mereka yang terbuang sia-sia dan tidak ada waktu mereka yang luput dari ketaatan. Tujuan mereka selalu lurus, sebagaimana lurusnya amalan mereka. Dan mereka diberi kemampuan untuk melakukan semua itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6) [Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal. 862, Taisir Al-Karimir Rahman hal. 520-521]



Itulah sifat-sifat malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia. Dan manusia, sekali lagi bukanlah malaikat. Pada diri manusia ada kelalaian dan sifat lupa. Kadang semangat dalam menjalankan ketaatan, kadang pula futur (lemah semangat). Kadang hatinya tersibukkan mengingat kematian dan kampung akhirat, kadang pula ia sibuk mengurus dunianya. Begitulah sifat manusia, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Dan orang yang demikian keadaannya tidaklah bisa dicap munafik, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak cap seperti itu ketika diucapkan oleh Hanzhalah radhiallahu ‘anhu.
Selengkapnya...

Sabtu, 10 September 2011

Selamat Bahagia



Bismillah



Baru hitungan bulan aku mengenalnya. Di tempat terindah, tenang dan menentramkan. Di sebuah ma’ad. Usianya lebih muda dariku, tapi ilmunya luar biasa. Aku sangat iri. Di usia sekarang aku baru belajar. Kemana saja aku dulu.

Salafy. Begitu sulit untuk menyandangnya. Menisbatkan diri mengikuti Rasulullah dan para sahabat. Ya Allah betapa bahagianya aku berada di tempat yang Engkau jaga. Yaitu di Ma’had ini.



Di ma’had aku sebagai administrasi. Di ma’had aku bekerja sambil belajar.



Dengannya aku sebagai musrifah bagi para santriwati. Hari-hari ku lalui bersamanya. Kebersamaan kami banyak menyimpan kenangan walaupun hanya hitungan bulan.



Saat ini, sebenarnya hatiku belum rela untuk berpisah dengannya. Tapi dia harus menjalani kehidupan barunya dengan lelaki pilihan Allah.



Ya Allah berilah kebahagiaan pada mereka dunia akhirat………………….





Sabtu, 10 september 2011



Nia
Selengkapnya...

Sabtu, 09 Juli 2011

gAk g3nah..........*Tabassum*

Bismillah

Hari yang cerah, tak secerah hatiku. kabut hitam menggantung di sudut hati. tapi hujan tak kunjung turun. seolah bongkahan itu telah mengeras. hatiku.

ingin ku buang jauh2 energi negatif yang menyelimutiku saat ini. capek sudah di hinggapi pikiran2 kacau tak berujung.

ooopppzzzz.......kenapa hanya keluhan yang keluar dari lisan ini....


Sungguh aku tak boleh berpikir seperti ini......deuhhhh nia....normalkan pikiranmu....(sambil ngejeduk2 pala ke tembok) hhe...sadis amat sih....

Positif Thinking...
ya..!! itu yang harus ku lakukan. tak baik selalu meratapi kesalahan. malah makin lemah. wake up nia...!!!!

benar2 wake up nieh......jadi tidak menyambung tidur lagi setelah subuh......(hhe..kebiasaan.....)
Selengkapnya...

Jumat, 17 Juni 2011

Haramnya Nyanyian dan Alat Musik



Haramnya Nyanyian dan Alat Musik

Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” (QS. Luqman: 6)

Abdullah bin Mas’ud berkata menafsirkan ‘perkataan yang tidak berguna’, “Dia -demi Allah- adalah nyanyian.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Itu adalah nyanyian, demin yang tidak ada sembahan yang berhak selain-Nya,” beliau mengulanginya sebanyak 3 kali.


Ini juga merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah dari kalangan sahabat. Dan dari kalangan tabi’in: Ikrimah, Said bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, Al-Hasan Al-Bashri, dan selainnya. (Lihat selengkapnya dalam Tafsir Ibnu Katsir: 3/460)

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa dia mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعازِفَ

“Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)
Kalimat ‘akan menghalalkan’ menunjukkan bahwa keempat hal ini asalnya adalah haram, lalu mereka menghalalkannya.

Lihat pembahasan lengkap mengenai keshahihan hadits ini serta sanggahan bagi mereka yang menyatakannya sebagai hadits yang lemah, di dalam kitab Fath Al-Bari: 10/52 karya Al-Hafizh dan kitab Tahrim Alat Ath-Tharb karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Penjelasan ringkas:
Nyanyian secara mutlak adalah hal yang diharamkan, baik disertai dengan musik maupun tanpa alat musik, baik liriknya berbau maksiat maupun yang sifatnya religi (nasyid). Hal itu karena dalil-dalil di atas bersifat umum dan tidak ada satupun dalil yang mengecualikan nasyid atau nyanyian tanpa musik.

Jadi nyanyian dan musik ini adalah dua hal yang mempunyai hukum tersendiri. Surah Luqman di atas mengharamkan nyanyian, sementara hadits di atas mengharamkan alat musik. Jadi sebagaimana musik tanpa nyanyian itu haram, maka demikian pula nyanyian tanpa musik juga haram, karena keduanya mempunyai dalil tersendiri yang mengharamkannya.

Sebagai pelengkap, berikut kami membawakan beberapa ucapan dari keempat mazhab mengenai haramnya musik dan nyanyian:

A. Al-Hanafiah.
Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Nyanyian itu adalah haram dalam semua agama.” (Ruh Al-Ma’ani: 21/67 karya Al-Alusi)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Abu Hanifah membenci nyanyian dan menghukumi perbuatan mendengar nyanyian adalah dosa.” (Talbis Iblis hal. 282 karya Ibnu Al-Jauzi)

B. Al-Malikiah
Ishaq bin Isa Ath-Thabba’ berkata, “Aku bertanya kepada Malik bin Anas mengenai nyanyian yang dilakukan oleh sebagian penduduk Madinah. Maka beliau menjawab, “Tidak ada yang melakukukan hal itu (menyanyi) di negeri kami ini kecuali orang-orang yang fasik.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar hal. 142, Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 282, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 98)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Adapun Malik bin Anas, maka beliau telah melarang dari menyanyi dan mendengarkan nyanyian. Dan ini adalah mazhab semua penduduk Madinah.” (Talbis Iblis hal. 282)

C. Asy-Syafi’iyah.
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku mendapati di Iraq sesuatu yang bernama taghbir, yang dimunculkan oleh orang-orang zindiq guna menghalangi orang-orang dari membaca AL-Qur`an.” (Riwayat Abu Nuaim dalam Al-Hilyah: 9/146 dan Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 283 dengan sanad yang shahih)
Taghbir adalah kumpulan bait syair yang berisi anjuran untuk zuhud terhadap dunia, yang dilantunkan oleh seorang penyanyi sementara yang hadir memukul rebana mengiringinya.

Kami katakan: Kalau lirik taghbir ini seperti itu (anjuran zuhur terhadap dunia) dan hanya diiringi dengan satu alat musik sederhana, tapi tetap saja dibenci oleh Imam Asy-Syafi’i, maka bagaimana lagi kira-kira jika beliau melihat nasyid yang ada sekarang, apalagi jika melihat nyanyian non religi sekarang?!
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah berkata mengomentari ucapan Asy-Syafi’i di atas, “Apa yang disebutkan oleh Asy-Syafi’i bahwa taghbir ini dimunculkan oleh orang-orang zindiq adalah ucapan dari seorang imam yang mengetahui betul tentang landasan-landasan Islam. Karena mendengar taghbir ini, pada dasarnya tidak ada yang senang dan tidak ada yang mengajak untuk mendengarnya kecuali orang yang tertuduh sebagai zindiq.” (Majmu’ Al-Fatawa: 11/507)

Ibnu Al-Jauzi berkata, “Murid-murid senior Asy-Syafi’i radhiallahu anhum mengingkari perbuatan mendengar (nyanyian).” (Talbis Iblis hal. 283)

Ibnu Al-Qayyim juga berkata dalam Ighatsah Al-Luhfan hal. 350, “Asy-Syafi’i dan murid-murid seniornya serta orang-orang yang mengetahui mazhabnya, termasuk dari ulama yang paling keras ibaratnya dalam hal ini (pengharaman nyanyian).”
Karenanya Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbi Iblis hal. 283, “Maka inilah ucapan para ulama Syafi’iyah dan orang-orang yang baik agamanya di antara mereka (yakni pengharaman nyanyian). Tidak ada yang memberikan keringanan mendengarkan musik kecuali orang-orang belakangan dalam mazhabnya, mereka yang minim ilmunya dan telah dikuasai oleh hawa nafsunya.”

D. Al-Hanabilah
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang nyanyian, maka beliau menjawab, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, saya tidak menyukainya.” (Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal. 142)
Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbis Iblis hal. 284, “Adapun nyanyian yang ada di zaman ini, maka terlarang di sisi beliau (Imam Ahmad), maka bagaimana lagi jika beliau mengetahui tambahan-tambahan yang dilakukan orang-orang di zaman ini.”
Kami katakan: Itu di zaman Ibnu Al-Jauzi, maka bagaimana lagi jika Ibnu Al-Jauzi dan Imam Ahmad mengetahui bentuk alat musik dan lirik nyanyian di zaman modern seperti ini?!

Kesimpulannya:
Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Imam Empat, mereka telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik yang merupakan alat-alat permainan yang tidak berguna.” (Minhaj As-Sunnah: 3/439)

Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Hendaknya diketahui bahwa jika rebana, penyanyi wanita, dan nyanyian sudah berkumpul maka mendengarnya adalah haram menurut semua imam mazhab dan selain mereka dari para ulama kaum muslimin.” (Ighatsah Al-Luhfan: 1/350)

Al-Albani rahimahullah berkata dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 105 berkata, “Para ulama dan fuqaha -dan di antara mereka ada Imam Empat- telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik, guna mengikuti hadits-hadits nabawiah dan atsar-atsar dari para ulama salaf.”
Selengkapnya...

Minggu, 24 April 2011

Dari kami untukmu para mujahid (*teroris)



Bismillah

Kepada AL-HAFIEZH, Yang Maha Memelihara dan Menjaga semua mahlukNYA termasuk juga memelihara dan menjaga amal perbuatan hamba-hambaNYA maka kami meminta agar tulisan kami ini terpelihara dan terjaga niatnya agar ikhlas semata-mata karna mengharap Ridho dariNYA.

Tulisan ini kami tujukan kepada kalian yang dianggap mujahid tetapi senjata perangnya juga melukai saudara muslimahnya yang berdiam diri di rumahnya...

Bagaimana mungkin engkau dikatakan mujahid???

Tidakkah yang menggelarimu demikian membuka mata atas tulisan ilmiyah dari saudara-saudara kami diluar sana yang benar-benar mengikuti cara beragamanya Rosulullah??? Tidakkah dari bacaan tersebut engkau dapat membedakan antara teroris dengan mujahid, bukankah sungguh gelar yang amat jauh berbeda bagai bumi dan langit???

Kami bukan hendak menulis apa yang telah banyak ditulis saudara kami tersebut, akan tetapi kami hanya ingin menyampaikan efek dari serpihan-serpihan bom kalian didalam rumah kami...

Tahukah kalian bahwa kami juga kesusahan dan bersedih hati karna ulah kalian sebagian dari ibu kami susah untuk tidur hanya karna bimbang dengan putrinya yang terlihat bersemangat menuntut ilmu agama, para ibu kami hawatir kami jatuh dalam pemahaman seperti kalian... karna tampak padanya kalian adalah pemuda yang kuat agamanya....

Ibu-ibu kami hawatir dari mulut-mulut kami putrinya yang mereka lahirkan dengan rasa sakit tiada kentara akan keluar kata pengakfiran kepada mereka,, padahal dari rahim-rahim mereka kami terlahir sebagai putri muslimah...

Sebab itu sebagaian dari kami sukar mendapat izin keluar rumah untuk menghadiri majelis dzikir, padahal kalian tahu dari majelis-majelis itulah kami belajar mengenal ALLAH, mengenal RasulNYA dan mengenal agama islam ini.. bukankah kalian sendiri tahu bahwa ada banyak keutamaan dalam majelis ilmu itu...

lantas ibu kami kah yang harus disalahkah??? Padahal tak semua ibu kami faham dengan syari’at Islam ini. Tahukah kalian yang disana sebagian dari ibu kami adalah awwam, mereka tak banyak mengerti tentang agama ini... apakah yang kalian ingin dari kami?? Membantah mereka kah? Menegakan penjelasan dengan paksa kah?? atau Apakah kalian ingin kami (para Muslimah) ini keluar rumah tanpa pamit kepada wali-wali kami?? Apakah pergi diam-diam dan membawa pulang papan nama “kenakalan” seolah-olah kami menjadi anak gadisnya yang pembangkang?? Adakah harus pergi menuntut ilmu dalam keadaan orang tua kami hatinya terluka, sedih atau bahkan tidak ridho??

Andaikan kalian tahu belum tentu dirumah-rumah kami mendapat pelajaran keagamaan, belum tentu ada media pembelajaran untuk ilmu-ilmu syar’i... belum tentu yaa Akhi...

Tidakkah kalian merasa membuat kami penuntut ilmu yang sangat junior ini kesusahan???

Apakah benar jika jihad itu berdampak kesulitan untuk muslim yang lain??

Adakah juga kalian ketahui bahwa sebagian dari kami tak dapat berhijab dengan syar’i karna orang tua kami tak berniat membelikan pakaian-pakaian demikaian agar anaknya tak berpenampilan bak teroris... yah, sebab jasa kalian pakaian syar’i itu kini mendapat gelar pakaian teroris... sebab jasa kalian pula kami jadi berlatih kesabaran untuk bisa menjelaskan dengan baik dan pelan-pelan kepada orangtua kami bahwa pakian syar’i itu bukanlah pakaian bakal jadi calon istri-istri teroris..

Wahai saudaraku, kami bukanlah bagian dari kaum kalian yang bisa dengan mudah keluar rumah, yang dengan mudah bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami, yang dengan mudah tinggal/tidur dimana saja, kami bukanlah laki-laki... kami adalah wanita yang ada pada diri kami hak para Wali....

Ketika fitnah/cobaan atas ulah teror ini menghampiri kami bahkan ketika kami berada di dalam tempat-tempat yang menjadi hijab kami yakni di rumah-rumah kami sendiri... kami seakan-akan tak dapat berbuat apa-apa melainkan tetap bertaqwa kepada ALLAH semampu yang kami bisa dengan tetap harus menta’ati orang tua kami yang telah terparadigma pemikiranya bahwa semangat beragama kami dapat membawa kami menjadi seorang yang berpemahaman teroris.. hanya kepada ALLAH Ta’alaa sajalah kami meminta dapat lolos dari fitnah ini...

Dan kami juga berharap tiada suadari kami yang menjadi kesusahan atas jodoh yang soleh... karna sebagian dari ayah-ayah atau wali-wali kami telah terlihat wanti-wanti jika rumahnya dinaiki oleh laki-laki yang berpenampilan syar’i (berjenggot dan bercelana centeng) dengan memiliki hajat khusus terhadap putrinya...

Pernah ada diantara ayah kami yang berkata, “aku tak ingin putriku diboyong jika nanti dinikahi laki-laki berjenggot karna bisa saja ia meninggalkan putriku begitu saja dengan alasan ‘jihad’nya...”

Bagaimana mungkin Ayahanda kami hawatir menyerahkan hak perwaliannya kepada laki-laki yang berpenampilan syar’i? Adakah mereka takut sunnah itu hanya ada pada covernya saja? adakah karna bentuk sayangnya kepada kami, yang tak ingin kami nantinya menjadi seperti istri-istri teroris yang ditelantarkan hak-haknya???

Pun kalian membuat perkataan kami tak lagi didengar sepenuhnya oleh keluarga kami... embel-embel “seperti teroris” itu berat bagi kami penuntut ilmu pemula wahai yang hanya bermodalkan semangat untuk menjadi mujahid!!

Kenapa kalian tega melakukan ini kepada kami??? Bukankah kalian ketahui sendiri bahwa yang kita dakwahkan ini adalah dakwah tauhid, dakwah yang membutuhkan waktu yang panjang sebagaimana dakwahnya para Nabiyullah... janganlah kalian membuat keluarga kalian dan keluarga kami menjadi antipati duluan terhadap para pendakwahnya, karena bagaimana hendak didakwahkan jika demikian??

Kami juga sampaikan kepada kalian, jika kalian benar atas pemahanan takfiri kalian tersebut kenapa kerja dakwah kalian sembunyi-sembunyi??? Identitas saja kalian tak berani tunjukkan dengan jujur??? Bukankah agama Islam diakui di Negara kita ini? Kenapa mesti takut? Bukankah perasaan takut diketahui orang lain itu hanya ada pada dosa/aib?

Kasihanilah juga istri-istri kalian yang hidupnya terkesan bagai pelarian... dan kalian para istri rujuklah kepada salaful ummah...

Source :
24 April 2011 ba'da Subuh

www.facebook.com/rindu.menikah
Selengkapnya...

Template by : kendhin x-template.blogspot.com